PEMBELAJARAN
SOSIAL-EMOSIONAL
“MURIDKU PENYEMANGATKU”
Oleh :
Putu Sri Utami Dewi, S.Pd., M.Pd. (SMP Negeri 3
Denpasar)
Calon Guru Penggerak Kota Denpasar
Selamat pagi bu guru… Ahhh rasanya aku sangat
merindukan suara itu. Ingin rasanya ku mendengarkan secara tatap muka sapaan
yang pastinya berisi senyuman sumringah mereka. Murid-muridku adalah
penyemangatku untuk selalu belajar mengembangkan diri. Murid-muridku adalah
kebanggaanku dan tentunya mereka adalah salah satu sumber kebahagiaanku. Guru
akan tetap menjadi guru, sedangkan murid tidak akan tetap menjadi murid. Mereka
akan terus berkembang dan akan menemukan jalan kesuksesan masing-masing. Belajar
itu adalah sebuah proses, proses yang akan selalu mereka kenang, tidak hanya
berdampak pada saat ini tetapi juga kelak dikemudian hari. Aku layaknya seorang
manusia biasa yang mempunyai emosi, wajar bukan ketika ada murid yang melanggar
kesepakatan berkali-kali untuk dihukum dan dimarah? Ya itu benar, tetapi benar
kala itu. Kala paradigma lama masih berlaku. Saat ini paradigma baru sedang
kita jalani. Tidak ada lagi istilah hukuman yang ada budaya positif. Tidak ada
lagi kemarahan, yang ada mengelola emosi dan fokus melalui kesadaran penuh.
Beruntung sekali bisa mengikuti program guru penggerak. Banyak materi baru yang
didapatkan, wawasan bertambah, dan pikiran mulai terbuka. Tentunya hal tersebut
tidak akan saya simpan sendiri. Akan saya bagikan melalui tulisan sederhana ini
-koneksi antar materi. Selamat membaca! Semoga bermanfaat.
REFLEKSI PEMIKIRAN KI
HAJAR DEWANTARA (KHD)
Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam
masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia
yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya.
Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai
kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.
Ki Hadjar menjelaskan
bahwa tujuan pendidikan yaitu: "menuntun segala kodrat yang ada pada
anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan
dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai
anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh
atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat
memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan
kodrat anak”. KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan
cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.
Menurut
KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak
pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi
pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa
(afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih merupakan perpaduan
harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.
NILAI DAN PERAN GURU
PENGGERAK
Lumpkin
(2008) menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka
tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru
membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri,
kemudian mereka memercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa
mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang
baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid
mereka.
Guru adalah
tukang kebun, yang merawat tumbuhnya nilai-nilai kebaikan di dalam diri
murid-muridnya. Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan lingkungan di mana
murid berproses menumbuhkan nilai-nilai dirinya tersebut. Guru dapat
mengembangkan lingkungan yang sifatnya fisik (ekstrinsik) maupun yang sifatnya
psikis (intrinsik). Emosi adalah bagian utama dari lingkungan psikis yang dapat
dipengaruhi dan harus dipertimbangkan pengembangannya oleh guru.
VISI DAN MISI GURU
PENGGERAK
Menjadikan
sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya
sudah menjadi hal yang umum diinginkan semua pihak. Namun, dalam prakteknya,
kalimat tersebut bukan kalimat yang mudah untuk diwujudkan karena diperlukan
perubahan yang mendasar dan upaya yang konsisten. Menurut Evans (2001), untuk memastikan bahwa perubahan terjadi secara
mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai
dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah.
Menurut
Cooperrider, saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat
melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan
perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak
membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia
dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi
akan berkembang secara berkelanjutan.
Di
sekolah, pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA) dapat dimulai dengan
mengidentifikasi hal baik yang telah ada di sekolah, mencari cara agar
bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, sehingga kelemahan, kekurangan dan
ketidak-adaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif tersebut,
sekolah kemudian menyelaraskan hal positif atau kekuatan tersebut dengan
visi sekolah dan visi setiap individu dalam komunitas sekolah.
PENGANTAR BUDAYA
POSITIF
Kita seringkali
memandang bahwa hukuman adalah bentuk yang sama dengan proses pen-disiplin-an
dan memberikan hukuman sebagai salah satu langkah dalam proses disiplin murid.
Padahal, disiplin dan hukuman memiliki arti yang berbeda dan memberikan efek
yang sangat berbeda dalam pembentukan diri murid.
Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau
melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek
dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk
mengendalikan perilaku murid, disiplin dimaksudkan untuk
mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang
kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka
pelajari.
Tujuan akhir
dari disiplin adalah agar siswa memahami perilaku mereka sendiri, mengambil
inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri
mereka sendiri dan orang lain. Disiplin sebaiknya juga menerapkan hal-hal
berikut (1) fokus dalam mengoreksi dan mendidik, (2) mendorong tanggung jawab
dan disiplin diri, dan (3) jangan pernah merusak atau membahayakan martabat
pelajar atau pendidik.
PEMBELAJARAN
BERDIFERENSIASI
Menurut Tomlinson (2000), pembelajaran berdiferensiasi
adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi
kebutuhan belajar individu setiap murid. Pembelajaran
berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense)
yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid. Pembelajaran
berdiferensiasi haruslah berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan
bagaimana guru merespon kebutuhan belajar tersebut. Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to
Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan
bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak
berdasarkan 3 aspek. Ketiga aspek tersebut adalah kesiapan belajar (readiness)
murid, minat murid, dan profil belajar murid.
PEMBELAJARAN SOSIAL
EMOSIONAL
Kesadaran penuh
(mindfulness) menurut Kabat - Zinn (dalam Hawkins, 2017, hal. 15) dapat
diartikan sebagai kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian
secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu dan
kebaikan. Kesadaran penuh (mindfulness) dapat dilatih dan ditumbuhkan
melalui berbagai kegiatan. Artinya, kita dapat melatih kemampuan untuk
memberikan perhatian yang berkualitas pada apa yang kita lakukan.
Kegiatan-kegiatan seperti latihan menyadari nafas (mindful breathing)
dan latihan bergerak sadar (mindful movement).
Well-being (kesejahteraan
hidup) adalah sebuah kondisi di mana individu memiliki sikap yang positif
terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur
tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan
dan mengelola lingkungan dengan baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup
mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya.
Menurut Mcgrath & Noble, 2011, murid yang memiliki tingkat well-being yang
optimum memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mencapai prestasi akademik
yang lebih tinggi, kesehatan fisik dan mental yang lebih baik,
memiliki ketangguhan dalam menghadapi stress dan terlibat dalam perilaku
sosial yang lebih bertanggung jawab.
Gambar 1. Hubungan Mindfulness dan Empati dan Resiliensi (Hawkins, 2011)
Perasaan aman dan rasa percaya
dalam diri murid akan membantu murid dalam proses pembelajaran dan relasi
dengan guru di sekolah. Murid dapat menumbuhkan kesadaran diri tentang
perasaan, kekuatan, kelemahan, nilai-nilai yang dimiliki dengan lebih baik
dan kesadaran sosial yang lebih baik yang didasarkan pada perhatian yang
bertujuan akan membantu murid dalam memproses informasi secara lebih baik dalam proses
pembelajaran. Jika murid dapat mengikuti proses pembelajaran secara
lebih baik, maka secara perlahan tumbuh optimisme atau rasa percaya dalam
dirinya.
Gambar 2. Pembelajaran Sosial dan Emosional Berbasis Kesadaran Penuh
Latihan STOP dapat membantu dalam mengelola emosi di saat berada pada situasi menantang maupun tertekan. STOP adalah kepanjangan dari (1) Stop, yaitu berhenti artinya kalian hentikan segala sesuatu yang sedang kalian lakukan; (2) Take a deep breath, yaitu tarik nafas dalam artinya sadari nafas masuk, sadari nafas keluar. Rasakan udara segar yang masuk melalui hidung. Lakukan 2-3 kali; (3) Observe, yaitu amati artinya amati apa yang sedang kalian rasakan pada tubuh. Amati perut yang mengembang sebelum membuang nafas. Amati perut yang mengempes saat kalian membuang nafas; (4) Proceed, yaitu lanjutkan artinya latihan selesai, silahkan lanjutkan kembali aktivitas kalian dengan perasaan yang lebih tenang.
Gambar 3. Lima Kompetensi Sosial-Emosional CASEL
Dengan mengenali keenam emosi dasar pada manusia (takut, jijik, marah, kaget, bahagia, sedih) akan sangat membantu dalam mengelola emosi tersebut serta mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Latihan STOP adalah satu cara untuk mengelola emosi apabila dilakukan dengan kesadaran penuh. Selain itu, penting juga untuk menumbuhkan kesadaran diri baik dalam pengelolaan emosi maupun pengelolaan diri dalam mengelola fokus. Kesadaran sosial juga sangat diperlukan karena akan mampu membangun rasa empati dan dapat menumbuhkan kemampuan untuk menempatkan diri. Daya lenting dalam CASEL juga memiliki andil yang besar. Resiliensi atau daya lenting, yaitu kemampuan individu untuk merespons tantangan atau trauma yang dihadapi dengan cara-cara sehat dan produktif. Terakhir tentang pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Jadi CASEL, STOP, dan enam emosi dasar manusia memiliki keterkaitan yang sangat kuat satu sama lain.
Pada hakekatnya
semua materi yang disajikan dalam Pendidikan Guru Penggerak saling berhubungan
dan saling bergantungan satu sama lain. Pengetahuan dan wawasan yang didapatkan
akan menjadi dasar untuk mempraktekkannya di lapangan. Semoga guru penggerak
bisa menjadi agen transformasi Pendidikan Indonesia.
#MerdekaBelajar
#GuruPenggerak
#BanggaMenjadiGuru
#MuridkuPenyemangatku
Pada
kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :
1. Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.
2. Ditjen GTK
Kemendikbud RI.
3. Fasilitator Bapak
Yuli Cahyono (Pak Yoel) dari P4TK PENJASBK yang selalu sabar membimbing saya.
4. Pendamping saya dalam
PGP, Bapak I Gede Eka Saputra yang selalu sabar mendampingi.
5. Teman-teman kelompok
1 di kelas A yang selalu berbagi ilmu.
6. Kepala SMP Negeri 3
Denpasar atas segala dukungan yang diberikan.
7. Rekan sejawat yang
selalu memotivasi.
8. Keluarga tercinta atas
toleransi, kerja sama, dan motivasi yang diberikan.
Denpasar, 8 Maret 2021
Calon Guru Penggerak
Angkatan 1
Putu Sri Utami Dewi, S.Pd., M.Pd.
Mantap 👍
BalasHapusMakasi kak 🤗
HapusSoooo interesting ��
BalasHapusYuhu..thank you mas bro
Hapus