Senin, 08 Maret 2021

PEMBELAJARAN SOSIAL-EMOSIONAL (MURIDKU PENYEMANGATKU)

 


 

PEMBELAJARAN SOSIAL-EMOSIONAL

“MURIDKU PENYEMANGATKU”

 

Oleh :

Putu Sri Utami Dewi, S.Pd., M.Pd. (SMP Negeri 3 Denpasar)

Calon Guru Penggerak Kota Denpasar

 

Selamat pagi bu guru… Ahhh rasanya aku sangat merindukan suara itu. Ingin rasanya ku mendengarkan secara tatap muka sapaan yang pastinya berisi senyuman sumringah mereka. Murid-muridku adalah penyemangatku untuk selalu belajar mengembangkan diri. Murid-muridku adalah kebanggaanku dan tentunya mereka adalah salah satu sumber kebahagiaanku. Guru akan tetap menjadi guru, sedangkan murid tidak akan tetap menjadi murid. Mereka akan terus berkembang dan akan menemukan jalan kesuksesan masing-masing. Belajar itu adalah sebuah proses, proses yang akan selalu mereka kenang, tidak hanya berdampak pada saat ini tetapi juga kelak dikemudian hari. Aku layaknya seorang manusia biasa yang mempunyai emosi, wajar bukan ketika ada murid yang melanggar kesepakatan berkali-kali untuk dihukum dan dimarah? Ya itu benar, tetapi benar kala itu. Kala paradigma lama masih berlaku. Saat ini paradigma baru sedang kita jalani. Tidak ada lagi istilah hukuman yang ada budaya positif. Tidak ada lagi kemarahan, yang ada mengelola emosi dan fokus melalui kesadaran penuh. Beruntung sekali bisa mengikuti program guru penggerak. Banyak materi baru yang didapatkan, wawasan bertambah, dan pikiran mulai terbuka. Tentunya hal tersebut tidak akan saya simpan sendiri. Akan saya bagikan melalui tulisan sederhana ini -koneksi antar materi. Selamat membaca! Semoga bermanfaat.

 

REFLEKSI PEMIKIRAN KI HAJAR DEWANTARA (KHD)

Pendidikan adalah tempat persemaian benih-benih kebudayaan dalam masyarakat. KHD memiliki keyakinan bahwa untuk menciptakan manusia Indonesia yang beradab maka pendidikan menjadi salah satu kunci utama untuk mencapainya. Pendidikan dapat menjadi ruang berlatih dan bertumbuhnya nilai-nilai kemanusiaan yang dapat diteruskan atau diwariskan.

Ki Hadjar menjelaskan bahwa tujuan pendidikan yaitu: "menuntun segala kodrat yang ada pada anak-anak, agar mereka dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan yang setinggi-tingginya baik sebagai manusia maupun sebagai anggota masyarakat. Oleh sebab itu, pendidik itu hanya dapat menuntun tumbuh atau hidupnya kekuatan kodrat yang ada pada anak-anak, agar dapat memperbaiki lakunya (bukan dasarnya) hidup dan tumbuhnya kekuatan kodrat anak”. KHD menegaskan juga bahwa didiklah anak-anak dengan cara yang sesuai dengan tuntutan alam dan zamannya sendiri.

Menurut KHD, budi pekerti, atau watak atau karakter merupakan perpaduan antara gerak pikiran, perasaan dan kehendak atau kemauan sehingga menimbulkan tenaga. Budi pekerti juga dapat diartikan sebagai perpaduan antara Cipta (kognitif), Karsa (afektif) sehingga menciptakan Karya (psikomotor). Sedih merupakan perpaduan harmonis antara cipta dan karsa demikian pula Bahagia.

 

NILAI DAN PERAN GURU PENGGERAK

Lumpkin (2008) menyatakan bahwa guru dengan karakter baik mengajarkan murid mereka tentang bagaimana keputusan dibuat melalui proses pertimbangan moral. Guru membantu muridnya memahami nilai-nilai kebaikan dalam diri mereka sendiri, kemudian mereka memercayainya sebagai bagian yang tak terpisahkan dari siapa mereka, hingga kemudian mereka terus menghidupinya. Guru dengan karakter yang baik melestarikan nilai-nilai kebaikan di tengah masyarakat melalui murid-murid mereka.

Guru adalah tukang kebun, yang merawat tumbuhnya nilai-nilai kebaikan di dalam diri murid-muridnya. Guru memiliki kesempatan untuk mengembangkan lingkungan di mana murid berproses menumbuhkan nilai-nilai dirinya tersebut. Guru dapat mengembangkan lingkungan yang sifatnya fisik (ekstrinsik) maupun yang sifatnya psikis (intrinsik). Emosi adalah bagian utama dari lingkungan psikis yang dapat dipengaruhi dan harus dipertimbangkan pengembangannya oleh guru.

 

VISI DAN MISI GURU PENGGERAK

Menjadikan sekolah sebagai rumah yang aman, nyaman dan bermakna bagi murid sepertinya sudah menjadi hal yang umum diinginkan semua pihak. Namun, dalam prakteknya, kalimat tersebut bukan kalimat yang mudah untuk diwujudkan karena diperlukan perubahan yang mendasar dan upaya yang konsisten. Menurut Evans (2001), untuk memastikan bahwa perubahan terjadi secara mendasar dalam operasional sekolah, maka para pemimpin sekolah hendaknya mulai dengan memahami dan mendorong perubahan budaya sekolah.

Menurut Cooperrider, saat ini kita hidup pada zaman yang membutuhkan mata yang dapat melihat dan mengungkap hal yang benar dan baik. Mata yang mampu membukakan kemungkinan perbaikan dan memberikan penghargaan. Bila organisasi lebih banyak membangun sisi positif yang dimilikinya, maka kekuatan sumber daya manusia dalam organisasi tersebut dipastikan akan meningkat dan kemudian organisasi akan berkembang secara berkelanjutan.

Di sekolah, pendekatan Inkuiri Apresiatif (IA) dapat dimulai dengan mengidentifikasi hal baik yang telah ada di sekolah, mencari cara agar bagaimana hal tersebut dapat dipertahankan, sehingga kelemahan, kekurangan dan ketidak-adaan menjadi tidak relevan. Berpijak dari hal positif tersebut, sekolah kemudian menyelaraskan hal positif atau kekuatan tersebut  dengan visi sekolah dan visi setiap individu dalam komunitas sekolah.

 

PENGANTAR BUDAYA POSITIF

Kita seringkali memandang bahwa hukuman adalah bentuk yang sama dengan proses pen-disiplin-an dan memberikan hukuman sebagai salah satu langkah dalam proses disiplin murid. Padahal, disiplin dan hukuman memiliki arti yang berbeda dan memberikan efek yang sangat berbeda dalam pembentukan diri murid. 

Disiplin merujuk pada praktik mengajar atau melatih seseorang untuk mematuhi peraturan atau perilaku dalam jangka pendek dan jangka panjang. Sementara hukuman dimaksudkan untuk mengendalikan perilaku  murid, disiplin dimaksudkan untuk mengembangkan perilaku para murid tersebut serta mengajarkan murid tentang kontrol dan kepercayaan diri dengan berfokus pada apa yang mampu mereka pelajari.

Tujuan akhir dari disiplin adalah agar siswa memahami perilaku mereka sendiri, mengambil inisiatif, menjadi bertanggung jawab atas pilihan mereka, dan menghargai diri mereka sendiri dan orang lain. Disiplin sebaiknya juga menerapkan hal-hal berikut (1) fokus dalam mengoreksi dan mendidik, (2) mendorong tanggung jawab dan disiplin diri, dan (3) jangan pernah merusak atau membahayakan martabat pelajar atau pendidik.

 

PEMBELAJARAN BERDIFERENSIASI

Menurut Tomlinson (2000), pembelajaran berdiferensiasi adalah usaha untuk menyesuaikan proses pembelajaran di kelas untuk memenuhi kebutuhan belajar individu setiap murid. Pembelajaran berdiferensiasi adalah serangkaian keputusan masuk akal (common sense) yang dibuat oleh guru yang berorientasi kepada kebutuhan murid.  Pembelajaran berdiferensiasi haruslah berakar pada pemenuhan kebutuhan belajar murid dan bagaimana guru merespon kebutuhan belajar tersebut. Tomlinson (2001) dalam bukunya yang berjudul How to Differentiate Instruction in Mixed Ability Classroom menyampaikan bahwa kita dapat mengkategorikan kebutuhan belajar murid, paling tidak berdasarkan 3 aspek. Ketiga aspek tersebut adalah kesiapan belajar (readiness) murid, minat murid, dan profil belajar murid.

 

PEMBELAJARAN SOSIAL EMOSIONAL

Kesadaran penuh (mindfulness) menurut Kabat - Zinn (dalam Hawkins, 2017, hal. 15) dapat diartikan sebagai kesadaran yang muncul ketika seseorang memberikan perhatian secara sengaja pada kondisi saat sekarang dilandasi rasa ingin tahu dan kebaikan. Kesadaran penuh (mindfulness) dapat dilatih dan ditumbuhkan melalui berbagai kegiatan. Artinya, kita dapat melatih kemampuan untuk memberikan perhatian yang berkualitas pada apa yang kita lakukan. Kegiatan-kegiatan seperti latihan menyadari nafas (mindful breathing) dan latihan bergerak sadar (mindful movement).

Well-being (kesejahteraan hidup) adalah sebuah kondisi di mana individu memiliki sikap yang positif terhadap diri sendiri dan orang lain, dapat membuat keputusan dan mengatur tingkah lakunya sendiri, dapat memenuhi kebutuhan dirinya dengan menciptakan dan mengelola lingkungan dengan baik, memiliki tujuan hidup dan membuat hidup mereka lebih bermakna, serta berusaha mengeksplorasi dan mengembangkan dirinya. Menurut Mcgrath & Noble, 2011, murid yang memiliki tingkat well-being yang optimum memiliki kemungkinan yang lebih tinggi untuk mencapai prestasi akademik yang lebih tinggi, kesehatan fisik dan mental yang lebih baik, memiliki ketangguhan dalam menghadapi stress dan terlibat dalam perilaku sosial yang lebih bertanggung jawab.

Gambar 1. Hubungan Mindfulness dan Empati dan Resiliensi (Hawkins, 2011)

Perasaan aman dan rasa percaya dalam diri murid akan membantu murid dalam proses pembelajaran dan relasi dengan guru di sekolah. Murid dapat menumbuhkan kesadaran diri tentang perasaan, kekuatan, kelemahan, nilai-nilai yang dimiliki dengan lebih baik dan kesadaran sosial yang lebih baik yang didasarkan pada perhatian yang bertujuan akan membantu murid dalam memproses informasi secara lebih baik dalam proses pembelajaran.  Jika murid dapat mengikuti proses pembelajaran secara lebih baik, maka secara perlahan tumbuh optimisme atau rasa percaya dalam dirinya.

 


Gambar 2. Pembelajaran Sosial dan Emosional Berbasis Kesadaran Penuh 

Latihan STOP dapat membantu dalam mengelola emosi di saat berada pada situasi menantang maupun tertekan. STOP adalah kepanjangan dari (1) Stop, yaitu berhenti artinya kalian hentikan segala sesuatu yang sedang kalian lakukan; (2) Take a deep breath, yaitu tarik nafas dalam artinya sadari nafas masuk, sadari nafas keluar. Rasakan udara segar yang masuk melalui hidung. Lakukan 2-3 kali; (3) Observe, yaitu amati artinya amati apa yang sedang kalian rasakan pada tubuh. Amati perut yang mengembang sebelum membuang nafas. Amati perut yang mengempes saat kalian membuang nafas; (4) Proceed, yaitu lanjutkan artinya latihan selesai, silahkan lanjutkan kembali aktivitas kalian dengan perasaan yang lebih tenang.



Gambar 3. Lima Kompetensi Sosial-Emosional CASEL

 Dengan mengenali keenam emosi dasar pada manusia (takut, jijik, marah, kaget, bahagia, sedih) akan sangat membantu dalam mengelola emosi tersebut serta mencari jalan keluar untuk mengatasinya. Latihan STOP adalah satu cara untuk mengelola emosi apabila dilakukan dengan kesadaran penuh. Selain itu, penting juga untuk menumbuhkan kesadaran diri baik dalam pengelolaan emosi maupun pengelolaan diri dalam mengelola fokus. Kesadaran sosial juga sangat diperlukan karena akan mampu membangun rasa empati dan dapat menumbuhkan kemampuan untuk menempatkan diri. Daya lenting dalam CASEL juga memiliki andil yang besar. Resiliensi atau daya lenting, yaitu kemampuan individu untuk merespons tantangan atau trauma yang dihadapi dengan cara-cara sehat dan produktif. Terakhir tentang pengambilan keputusan yang bertanggung jawab. Jadi CASEL, STOP, dan enam emosi dasar manusia memiliki keterkaitan yang sangat kuat satu sama lain.

Pada hakekatnya semua materi yang disajikan dalam Pendidikan Guru Penggerak saling berhubungan dan saling bergantungan satu sama lain. Pengetahuan dan wawasan yang didapatkan akan menjadi dasar untuk mempraktekkannya di lapangan. Semoga guru penggerak bisa menjadi agen transformasi Pendidikan Indonesia.

 

#MerdekaBelajar

#GuruPenggerak

#BanggaMenjadiGuru

#MuridkuPenyemangatku

 

Pada kesempatan ini saya mengucapkan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada :

1. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia.

2. Ditjen GTK Kemendikbud RI.

3. Fasilitator Bapak Yuli Cahyono (Pak Yoel) dari P4TK PENJASBK yang selalu sabar membimbing saya.

4. Pendamping saya dalam PGP, Bapak I Gede Eka Saputra yang selalu sabar mendampingi.

5. Teman-teman kelompok 1 di kelas A yang selalu berbagi ilmu.

6. Kepala SMP Negeri 3 Denpasar atas segala dukungan yang diberikan.

7. Rekan sejawat yang selalu memotivasi.

8. Keluarga tercinta atas toleransi, kerja sama, dan motivasi yang diberikan. 

 

Denpasar, 8 Maret 2021

Calon Guru Penggerak Angkatan 1

 

Putu Sri Utami Dewi, S.Pd., M.Pd.

 


4 komentar: